Aset Aman, Hati pun Tenang
ABSTRAK
Tempat Tinggal atau Rumah
merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk manusia setelah pangan, karena
tempat tinggal merupakan tempat berteduhnya manusia dari segala hal dan tempat
berkumpulnya keluarga. Namun, tempat tinggal atau rumah kita tersebut, berdiri
di atas tanah negara yang siapa saja dapat menempatinya. Maka dari itu, kita
sebagai pemilik tempat tinggal atau tanah tersebut harus memiliki hak paten
atas tempat tinggal atau tanah tersebut.
Kementrian Agraria atau
Badan Pertahanan Nasional menetapkan Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 6
tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Rumah Tinggal. Dalam
keputusan menteri tersebut, mempertimbangkan untuk menjamin kepemilikan rumah
tinggal bagi Warga Negara Indonesia dan negara perlu menjamin kelangsungan hak
atas tanah tempat rumah tinggal itu berdiri. Serta perlu meningkatkan pemberian
Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal yang masih dipunyai perseorangan warga
negara Indonesia dengan Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.
Lalu, apa saja yang akan
saya bahas dalam artikel ini? Saya akan membahas tentang hukum perdata, hak
eigendom, dan hukum perikatan dan perjanjian dengan mengaitkan dengan produk
hukum Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 6 Tahun 1998.
Bab 2
HUKUM PERDATA
1. HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA
1.1 SEJARAH SINGKAT HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA
Bermula di Eropa Konential berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping Hukum
tertulis dan Hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi sebagai
hukum asli karena keadaan hukum di Eropa kacau-balau, dimana tiap daerah
mempunyai peraturan sendiri dan juga berbeda-beda.
Pada
tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata bernama “Code Civil des Francais” atau “Code Napoleon”.
Code
Civil dipergunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin,
Domat, Pothies, Hukum Bumi Putra Lama, Hukum Jernonia, dan Hukum Cononiek.
Akhirnya
pada jaman Aufklarung (Jaman baru sekitar abad pertengahan) dimuat pada kitab
Undang-Undang tersendiri dengan nama “Code
de Commerce” mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman
Romawi antara lain masalah wessel, asuransi, badan-badan hukum.
Raja
Lodewijk Napoleon menetapkan : “Wetboek
napoleon Ingeright Voor het Koninkrijk Holland” yang mirip dengan “Code Civil des Francais atau Code Napoleon” untuk dijadikan sumber
Hukum Perdata di Belanda (Nederland) pada masa penjajahan oleh Belanda
(1809-1811).
Pada
tahun 1811, setelah berakhirnya penjajahan Nederland disatukan dengan Perancis
dan Code Civil des Francais atau Code Napoleon tetap berlaku.
Terbentuknya
bw (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek van koophandle) ini adalah produk
Nasional-Nederland namun sebagian besar sama dengan Code Civil des Francais dan Code
de Commerce.
Pada
tahun 1948, kedua Undang-Undang produk nasional-Nederland berlaku di Indonesia
berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum).
Sampai
sekarang dikenal dengan nama KUH Sipil (KUHP) untuk BW (Burgerlijk Wetboek) dan
KUH Dagang untuk WVK (Wetboek van koophandle).
Menurut Perspektif Sejarah, hukum perdata yang berlaku di Indonesia terbagi menjadi dua periode yaitu periode sebelum Indonesia merdeka dan periode sesudah Indonesia merdeka.
Pada periode sebelum Indonesia merdeka, sebagaimana negara jajahan, maka hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bangsa penjajah. Hal yang sama dengan hukum perdata. Hukum Perdata yang diberlakukan Belanda untuk Indonesia mengalami adopsi dan penjalanan yang panjang.
Pada Periode setelah merdeka, hukum perdata yang berlaku di Indonesia di dasarkan pada pasal II aturan peralihan UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan dinyatakan masih berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum di bidang hukum perdata. Namun, secara keseluruhan hukum perdata di Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami mengalami beberapa proses pertumbuhan atau perubahan yang mana perubahan tersebut disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri.
Pada periode sebelum Indonesia merdeka, sebagaimana negara jajahan, maka hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bangsa penjajah. Hal yang sama dengan hukum perdata. Hukum Perdata yang diberlakukan Belanda untuk Indonesia mengalami adopsi dan penjalanan yang panjang.
Pada Periode setelah merdeka, hukum perdata yang berlaku di Indonesia di dasarkan pada pasal II aturan peralihan UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan dinyatakan masih berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum di bidang hukum perdata. Namun, secara keseluruhan hukum perdata di Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami mengalami beberapa proses pertumbuhan atau perubahan yang mana perubahan tersebut disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri.
1.2 PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Hukum
Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam
masyarakat.
Dalam
arti luas meliputi Hukum Privat materiil (lawan dari Hukum Pidana). Hukum
Privat materiil (Hukum Sipil) lebih umum dengan Hukum Perdata untuk segenap
Hukum Privat materiil (Hukum Perdana Menteri) ialah hukum yang memuat segala
peraturan yang mengatur (hak dan kewajiban) hubungan antar perseorangan di
masyarakat dan kepentingan dari masing-masing yang bersangkutan secara timbal
balik.
Hukum
Perdata Formil (Hukum Acara Perdata) ialah hukum (proses data) yang memuat
segala peraturan yang mengatur cara melaksanakan praktek di lingkungan
pengadilan perdata. Dalam arti sempit juga dikenal lawan Hukum Dagang.
Menurut analisis saya,
hukum perdata itu merupakan hukum yang mengatur perilaku perseorangan di suatu
negara. Dengan adanya hukum perdata maka setiap manusia atau perseorangan dapat
membatasi perilakunya. Keputusan Menteri
Agraria No. 6 tahun 1998 merupakan hukum perdata karena mengatur tentang
pemberian hak atas tanah perorangan agar memberikan hak paten pada tanah
tersebut.
Keadaan Hukum Perdata Dewasa ini di Indonesia
2
faktor
kemajemukan Hukum Perdata di Indonesia :
1.
Faktor Ethnis
Disebabkan keaneka ragaman Hukum Adat
bangsa Indonesia, karena terdiri dari berbagai suku bangsa.
2.
Faktor Hostia Yuridis (Pasal 163.I.S.)
a. Golongan Eropa dan yang dipersamakan
b. Golongan Bumi Putera (pribumi/bangsa
Indonesia asli) dan yang dipersamakan.
c. Golongan Timur Asing (bangsa Cina,
India, Arab)
Hukum-hukum yang
diberlakukan bagi masing-masing golongan :
a. Golongan Eropa berlaku Hukum Perdata
dan Hukum Dagang Barat diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang di
Belanda berdasarkan azas konkordansi.
b. Golongan Bumi Putera (Indonesia Asli)
berlaku Hukum Adat mereka yaitu hukum yang sejak dulu berlaku di rakyat dimana
sebagian besar belum tertulis namun hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
c. Golongan timur asing (bangsa Cina,
India, Arab) berlaku hukum masing-masing dengan catatan golongan Bumi Putera
dan Timur Asing diperbolehkan menundukkan diri pada Hukum Eropa Barat.
Golongan warga negara
berlainan satu dengan yang lain :
a. Golongan bangsa Indonesia Asli
Berlaku Hukum Adat yaitu yang sejak
dulu berlaku di kalangan rakyat, sebagian besar masih belum tertulis tetapi
hidup di masyarakat.
b. Golongan warga negara bukan asli
(Tionghoa dan Eropa)
Berlaku kitab KUHP (Burgerlijk
Wetboek) dan KUHD (Wetboek Van Koophandel) dengan pengertian bagi golongan
Tionghoa ada suatu penyimpangan yaitu bagia 2 & 3 dari TITEL IV dari buku I
tentang :
-
Upacara
yang mendahului pernikahan dan mengenai penahanan pernikahan. Tidak berlaku
bagi golongan Tionghoa karena diberlakukan khusus yaitu Burgerlijk Stand dan peraturan mengenai pengangkatan anak (adopsi).
Golongan bukan dari
Tionghoa atau Eropa (Arab, India, dan lainnya) berlaku BW yaitu Hukum Kekayaan
Harta Benda (Vermorgensrecht), tidak mengenai Hukum Kepribadian, Kekeluargaan
dan Hukum Warisan.
Pasal 131 (I.S) (Indische
Staatregeling), sebelumnya pasal 131 (I.S) yaitu pasal 75 RR
(Regeringsregklement) :
1. Hukum Perdata dan Dagang, Hukum
Pidana, Hukum Acara Perdata, dan Hukum Acara Pidana harus diletakkan dalam
Kitab Undang-Undang yaitu di Kodifikasi.
2. Golongan bangsa Eropa harus dianut
perundang-undangan yang berlaku di Belanda (sesuai azas Konkordasi).
3. Golongan bangsa Indonesia Asli dan
Timur Asing (Tionghoa, Arab,dll) jika kebutuhan kemasyarakatan dikehendaki,
dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku.
4. Orang Indonesia Asli dan orang Timur
Asing, selama belum ditundukkan di bawah peraturan bersama bangsa Eropa,
diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa.
5. Sebelumnya hukum bangsa Indonesia
ditulis di Undang-Undang, tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku yaitu Hukum
Adat.
Pasal 1601-1603 lama dari BW yaitu
perihal :
- Perjanjian
kerja perburuhan : (staatblat 1879 no 256) pasal 1788-1791 BW perihal
hutang-hutang dari perjudian (straatsblad 1907 no 306)
- Beberapa
pasal dari WVK (KUHD) yaitu sebagian besar dari Hukum Laut (Stratsblad 1933 no
49)
Peraturan-peraturan yang
secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia seperti :
- Ordonansi
Perkawinan bangsa Indonesia Kristen (Staatsblad : 1933 no 74)
- Organisasi
tentang Maskapai Andil Indoneisa (MAI) Staatsblad 1939 no 570 berhubungan
dengan no 717).
Peraturan-peraturan yang
berlaku bagi semua golongan warga negara yaitu :
-
Undang-Undang
Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912)
-
Peraturan
Umum tentang Koperasi (Staatsblad 1933 no 108)
-
Ordonansi
Woeker (Staatsblad 1938 no 523)
-
Ordonansi
tentang pengangkutan di udara (Staatsblad 1938 no 98).
1.3 SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
Sistematika Hukum Perdata (BW) ada 2
pendapat. Pendapat yang pertama, dari pemberlaku Undang-Undang berisi :
Buku I : Berisi mengenai orang. Didalamnya diatur hukum
tentang diri seseorang dan hukum
kekeluargaan.
Buku II : Berisi tentang hal benda. Dan didalamnya diatur hukum kebendaan
dan hukum waris.
Buku III : Berisi tentang hal perikatan. Di dalamnya diatur
hak-hak dan kewajiban timbal balik antara orang-orang atau pihak-pihak
tertentu.
Buku IV : Berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Didalamnya
diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari
adanya daluwarsa itu.
Pendapat kedua menurut Ilmu
Hukum/Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu :
I.
Hukum tentang diri seorang (pribadi)
Mengatur tentang manusia sebagi subjek dalam hukum.
II.
Hukum Kekeluargaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbu dari
hubungan kekeluargaan yaitu :
-
Perkawinan
beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan.
III.
Hukum Kekayaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai
dengan uang.
IV.
Hukum Warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal.
Menurut analisis saya,
Kepmen Negara Agraria No. 6 Tahun 1998 sudah memenuhi sistematika hukum
perdata. Karena mengatur tentang hukum kekayaan.
2. SUBJEK DAN OBJEK HUKUM
2.1 ORANG SEBAGAI SUBJEK HUKUM
Subjek Hukum ialah segala sesuatu
yang pada dsarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lau lintas hukum. Yang
termasuk dalam pengertian Subjek Hukum
ialah manusia atau orang (naturlijke person). Dan badan hukum (vichtperson)
misalnya PT, PN, Koperasi, dll.
Ada
beberapa golongan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan tidak cakap atau
kurang cukup untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum itu. Mereka
adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa atau masih dibawah umur
Oleh
KUHP (BW) yang dimaksud ialah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan tidak
kawin.
2. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengawasan (Curatele)
yang selalu harus diwakili oleh orang tuanya, walinya, atau kuratornya.
Karena badan-badan hukum dan
perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan tersendiri. Dan ikut sertanya
badan hukum dan perkumpulan itu yaitu melalui pengurus tersebut, dapat digugat
dan menggugat dimuka hakim melalui pengurus.
2.2 OBYEK HUKUM
Objek Hukum adalah segala
sesuatu yang berada didalam pengaturan hukum dan dapat dimanfaatkan oleh subjek
hukum berdasarkan hak/kewajiban yang dimilikinya atas objek hukum yang
bersangkutan.
Misalnya segala macam
benda, hak atas sesuatu dan sebagainya, yang cara peralihannya berdasarkan
hukum (umpamanya berdasarkan jual beli sewa menyewa, waris mewaris, perjanjian
dsb)
Menurut Analisis saya,
Kepmen Negara Agraria No. 6 Tahun 1998 sudah mempunyai subyek dan obyek hukum
perdata. Subyeknya merupakan orang-orang yang mempunyai tanah yang diberikan
hak atas tanah tersebut. Dan obyeknya adalah mengatur tentang hak atas Tanah.
Bab 3
Hukum Kebendaan
1.
Hak Eigendom atas Tanah Menurut B. W
Peraturan-
Peraturan Burgerlijk Wetboek yang mengatur tentang Hak Eigendom dan hak-hak
lain atas tanah pada umumnya hanya berlaku bagi warga negara Indonesia yang
berbangsa Eropa, Tiong Hoa, Arab dan Timur asing lainnya. Akan tetapi Hak
Eigendom dan hak-hak lain atas tanah menurut B. W dapat dimiliki oleh warga
negara asli Indonesia, yaitu cara jual beli, tukar menukar, penghibahan,
warisan, dan lain-lain sebagainya. Menurut hukum Intergentiel sudah lazim
dianggap, bahwa bagi tanah eigendom dan lain-lain itu, di tangan siapapun juga,
berlakulah peraturan-peraturan yang bersangkutan dari Burgerlijk Wetboek. Maka,
bagi orang-orang asli Indonesia juga harus mengetahui peraturan B. W. Mengenai
hak eigendom dan hak-hak tanah lainnya.
Pasal 570 B.
W menggambarkan hak eigendom sebagai suatu hak, yang mempunyai 2 unsur seperti
halnya hak milik atas Hukum Adat, yaitu:
a. Hak untuk memungut hasil atas
kenikmatan sepenuhnya dari suatu barang.
b. Hak untuk menguasai barang itu secara
seluas-luasnya, seperti menjual, menukarkan, menghibahkan, dan lain-lain
sebagainya.
Dalam
sistem Burgerlijk Wetboek hak eigendom adalah hak atas suatu barang, yang pada
hakikatnya selalu bersifat sempurna, akan tetapi pada kenyataannya tidak selalu
demikian, melainkan ada kemungkinan seringkali dikurangi (uitgehold) dengan
adanya hak-hak lain dari orang lain atas barang itu. Misalnya, hak opstal, hak
memetik hasil, hak memakai. Juga sering dikatakan bahwa, hak eigendom adalah
hak atas barang kepunyaan sendiri, sedangkan hak-hak lain seperti hak opstal
dan sebagainya adalah hak atas kepunyaan barang orang lain. Dan orang lain ini
juga di sebut pemilik eigendom.
·
Sifat Perbedaan
Hak eigendom
oleh Burgerlijk Wetboek diatur dalam buku 2 dan disitu bersama dengan hak-hak
lainnya merupakan segerombolan merupakan sekelompok hak-hak yang bersifat
perbedaan. Artinya hak perbedaan atas suatu benda itu merupakan kekuasaan
langsung dari seorang atas suatu benda.
Tentang hak
perbedaan ialah, hak seseorang atas suatu benda, seperti misalnya hak sewa,
dalam mana suatu hubungan langsung hanya ada antar seorang penyewa dan seorang
yang menyewakan sedangkan hak sipenyewa untuk menguasai barang yang di sewa berdasarkan
hubungan perseorangan antara dua orang tersebut.
·
Sifat Mutlak
Hak eigendom
dan hak-hak lain yang diatur dalam buku 2 B. W adalah bersifat mutlak dalam
arti bahwa hak-hak ini dapat diperlakukan terhadap siapapun juga yang
mengganggu terlaksananya hak-hak itu. Sedangkan dalam hal tegor oleh sipemilik
eigendom dan si penyewa hanya dapat meminta tolong pada si pemilik eigendom,
supaya menegor si pengganggu itu.
·
Pembatasan Hak Eigendom
Pembatasan hak eigendom terbagi
menjadi 2 macam, yaitu:
a. Berdasarkan atas hak-hak orang lain
Dalam pembatasan ini, dapat
ditetapkan oleh undang-undang juga misalnya titel 4 buku 2 B. W ( pasal 625-672
), mengenai berbagai peraturan tentang hak-hak dan kewajiban para pemilik
pekarangan yang bersampingan atau berdekatan satu sama lain atau bisa di sebut
Hukum Tetangga. Disamping penetapan undang-undang ini ada hakikat umum yang
membatasi hak eigendom itu yaitu, dalam pemakaian hak eigendom seorang pemilik
harus memperhatikan kepentingan orang menurut lalu lintas kesusilaan yang
berada dalam masyarakat tertentu. Maka, pembatasan eigendom ini pun pada
umumnya disebutkan sebagai hal memperhatikan kepentingan-kepentingan
orang-orang perseorangan lain.
b. Berdasarkan atas ketentuan-ketentuan
belaka dari undang-undang (pasal 570 B.W)
Pasal 570 B.W disebutkan sebagai pembatasan hak
eigendom yang berdasarkan atas penentuan undang-undang belaka, sebetulnya juga
berdasarkan atas kepentingan orang lain. Hanya saja hal ini tidak disebutkan
dalam pasal-pasal dari suatu undang-undang yang bersangkutan. Pada akhirnya
bagi hak eigendom ini berlaku juga penentuan pasal 26 ayat 3 undang-undang
dasar sementara, yang mengatakan bahwa, hak milik adalah fungsi sosial.
Menurut analisis saya,
Kepmen Negara Agraria No. 6 Tahun 1998 sudah termasuk kedalam hak eigendom. Kepmen
tersebut juga sudah memiliki ciri-ciri diatas seperti sudah memiliki sifat
perbedaan, sifat mutlak, dan pembatasan hak eigendom.
1.1.Cara Mendapatkan Hak
eigendom atas Tanah
Menurut pasal 548 B.W cara-cara mendapatkan
hak eigendom atas tanah, adalah:
a. Pencakupan dengan barang lain menjadi
satu benda
Sebagai peraturan umum, pasal 588 B.W
mengatakan, bahwa segala sesuatu yang dikumpulkan dengan satu benda x, sehingga
mewujudkan satu benda, adalah milik dari pemilik benda x.
Pokoknya, soal ini mengenai sebidang
tanah yang diperluas dengan tambahan tanah lain, atau yang di dalamnya tumbuh
berbagai tanaman atau yang diatasnya terdapat bangunan-bangunan. Dalam hal ini,
tanah tambahan, tanaman dan bangunan, tidak dapat dikatakan merupakan suatu
benda sendiri, melainkan seolah-olah dilebur oleh sebidang tanah yang semula
menjadi satu. Jadi, seolah-olah lenyap menjadi benda tersendiri.
b. Mewarisi
Kalau pemilik eigendom itu orang Indonesia asli. Maka
berlaku cara mewarisi menurut Hukum Adat, seperti halnya hak milik atas tanah
menurut hukum Adat di daerah-daerah, dimana Hak Peraturan dari Persekutuan Desa
itu tipis atau sama sekali tidak ada lagi, sebagaimana di atas sudah pernah
dikatakan.
Kalau pemilik eigendom
itu orang Eropah atau Tionghoa, maka berlakulah pasal-pasal Burgerlijk Wetboek
bagian hukum warisan (Titel-titel Buku II B.W.). Pasal pokok dari peraturan
ini, ialah pasal 833 B.W., yang menentukan bahwa para ahli waris dengan
sendirinya (van rechtswege) menerima hak-hak dari yang meninggal dunia. Jadi
juga hak eigendom atas tanah.
Kalau pemilik tanah orang
arab, maka berlakulah Hukum adat mereka yang pratis sama dengan hukum islam.
c. Penyerahan barang yang mengikuti
perjanjian untuk memindahkan hak eigendom
Tentang hal ini ada tiga sistem :
1.
Sistem
Perancis yang hanya mengenal satu persetujuan, yaitu persetujuan jual beli yang
sudah mengakibatkan si pembeli menjadi pemilik barang yang dibeli, dengan tidak
prlu adanya suatu penyerahan.
2.
Sistem
Hukum Adat, yang juga hanya mengenal satu persetujuan, yaitu persetujuan jual
beli. Yang dinamakan persetujuan juual beli ini, adalah penyerahan barang oleh
penjual kepada pembeli dengan penerimaan oleh penjual dari pembeli sejumlah
uang pembelian. Dengan penyerahan ini tentunya hak milik atas barang itu
berpindah kepihak pembeli.
3.
Sistem
Burgerlijk Wetboek, yang mengenal dua persetujuan yang dipisah-pisahkan satu
dari yang lain, yaitu :
a) Persetujuan jual beli, yang bersifat
“oblgatior” (=mengikat) (lihat pasal 1457B.W.)
b) Persetujuan penyerahan barang yang
dijual, yang bersifat “Zakelij” (=perbendaan) (lihat pasal 584 B.W.) yang
menyebutkan “levering” sebagai cara mendapatkan hak eigendom. Persetujuan sub a
berbunyi : Bahwa si penjual berjanji menyatakan menyerahkan barang kepada si
pembeli, sedang persetujuan sub b berbunyi : bahwa si penjual menyatakan
menyerahkan barang yang dijual itu kepada pembeli. Eigendom atas barang, baru
berpindah dar penjual ke pembeli, setelah persetujuan peenyerahan terjadi.
Dengan adanya persetujuan jual beli sub a saja, dengan belum terjadinya
persetujuan peyerahan barang sub b hak eogendom atas barangnya belum berpindah
ke tangan pembeli.
d.
Lampau waktu
Lampau waktu (verjaring) sebagai cara
mendapatkan eigendom atas tanah diatur dalam Burgerlijk Wetboek secara teliti.
Maksud peraturan lampau ini ialah untuk menghentikan keragu-raguan hukum
tentang siapakah yang selayaknya harus dianggap pemilik eigendom atas tanah,
dalam hal tiada adanya kepastian 100% tentang hak eigendom itu.
Menurut analisis saya,
cara mendapatkan hak eigendom sudah diatur juga dalam Kepmen Agraria No. 6
Tahun 1998.
2.
HAK-HAK LAIN ATAS TANAH MENURUT B.W.
Tentang
hubungan hak-hak lain dengan hak milik atas tanah menurut Hukum Adat, dikatakan bahwa, biasanya
disamping hak-hak atas sebidang tanah
ada orang lain atau persekutuan yang mempunyai hak milik atas tanah juga dalam
sistem Burgerlijk Wetboek selalu ada pemilik eigendom atas sebidang tanah,
sebal pasal 521 B.W. menentukan, bahwa tanah-tanah yang tidak dipelihara dan
tidak ada “eigenar”nya, adalah kepunyaan Negara . karena itu kalau ada suatu hak lain dari pada eigendom atas sebidang tanah,
maka selalu ada orang lain atau Negara yang mempunyai hak eigendom atas tanah
itu.
2.1. Ketentuan-ketentuan Konvensi
Tentang
hal ini cukuplah disini memuatkan pasal-pasal yang bersangkutan dari
undang-undang Pokok-pokok Agraria, yaitu pasal-pasal I s/d IX sebagai berikut.
Pasal I
(1) Hak eigendm atas tanah yang ada pada
mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak milik,
kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam
pasal 21.
(2) Hak eigendom kepunyaan Pemerintah
Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman Kepala
Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya undang-undang ini
menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat 1, yang akan berlangsung selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut diatas.
(3)
Hak
eigendom kepunyaan orang asing, seorang warganegara yang disamping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum
yang tidak ditunjuk oleh pemerintah sebagai yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 2
sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut
dalam pasal 35 ayat 1 dengan jangka waktu 20 tahun.
(4)
Jika
hak eigendom tersebut dalam ayat 1 pasal ini dibebankan dengan hak opstal atau
hak erfpacht, makahak opstal dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya
undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 yang
membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau hak
erfpacht tersebut diatas, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
(5)
Jika
hak eigendom tersebut dalam ayat 3 pasal ini dibebani dengan hak opstal atau
hak erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut
selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
(6)
Hak-hak
hipotik, seriuut, vruchtgebruik dan hak-hak lain yang membebani hak
eigendomtetap membebani hak milik dan hak guna bangunan tersebut dalam ayat 1
dan 3 pasal ini, sedangkan hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut
Undang-undang ini.
Pasal II
(1) Hak-hak atas tanah yang memberi
wewenang sebagaimana mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat 1
seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai
berlakunya UU ini, yaitu : hak agra rischh eigendom, milik, yasan, andarbeni,
hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landreijenzitrecht,
altijddurende erfpacht, hak usaha diatas berkas tanah partikelir dan hak-hak
lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri
Agraria, sejak mulai berlakunya UU ini menjadi milik tersebut dalam pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang
mempunyai tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
(2) Hak-hak tersebut dalam ayat 1
kepunyaan orang asing, warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesia
mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh
pemerintah sebagai yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 2 menjadi hak guna usaha
hak guna bangunan sesuai dengan peruntukkan tanahnya sebagai yang akan
ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Pasal III
(1) Hak erfpacht untuk perusahaan kebun
besar, yang ada pada mulai berlakunya UU ini, sejak saat tersebut menjadi guna
usaha tersebut dalam pasal 28 ayat 1 yang akan berlangsung selama sisa waktu hak
erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
(2) Hak erfpacht untuk pertanian kecil
yang ada pada mulai berlakunya UU menurut ketentuan-ketentuan yang diadakan
oleh Menteri Agraria.
Pasal IV
(1) Pemegang concessie dan sewa untuk
perusahaan kebn besar dalam jangka waktu satu tahun sejak mulai berlakunya UU
ini harus mengajukan permintaan kepada Menteri Agraria agar haknya diubah
menjadi hak guna usaha.
(2) Jika sesudah jangka waktu tersebut
lampau permintaan itu tidak diajukan, maka consseies dan sewa yang bersangkutan
berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun dan
sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
(3) Jika pemegang consseies atau sewa
mengajukan permintaan termasuk dalam ayat 1 pasal ini tetaoi tidak bersedia
menerima syarat-syarat yang ditentukan oleh Menteri Agraria ataupun permintaan
itu ditolak oleh Menteri Agraria. Maka consseies atau sewa itu berlangsung
terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun dn sesudah itu
berakhir dengan sendirinya.
Pasal V
(1) Hak opstal dan hak erfpacht unuk
perumahan, yang ada pada mulai berlakunya UU ini, sejak saat tersebut menjadi
hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 yang berlangsung selama sisa
hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
Pasal VI
Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan
hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama
sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakuya UU ini, yaitu :hak uruchtge
bruik, gebruik, grant controlour, bruikleen, dan hak-hak lain dengan nama
apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh menteri Agreria, sejak mulai
berlakunya UU in menjadi hak pakai tsb dalam pasal 41 ayat 1 yang memberi
wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada
mulai berlakunya UU ini, sejak tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan UU ini.
Pasal VII
(1) Hak golongan, pekulen atau sanggang
yang bersifat tetap yang ada pada mulainya berlakunya UU ini menjadi hak milik
tersebut pada pasal 20 ayat .
(2) Hak golongan, pulekan atau sanggang
yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada pasal 41 ayat 1 yang
memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada
mulai berlakunya UU ini.
(3) Jika ada keragu-raguan apakah sesudah
hak golongan, pakulen atau sanggahan bersifat tetap atau tidak tetap, maka
Menteri Agreria yang memutuskan.
Pasal VIII
(1) Terhadap hak guna bangunan tersebut
pasal 1 ayat 3 dan 4, pasal II ayat 2 dan pasa V berlakunya ketentuan dalam
pasal 36 ayat 2.
(2) Terhadap hak guna bangunan tersebut
pada pasal II ayat 2, paal III ayat 1 dan pasal 2, pasal IV ayat 1 berlakunya
ketentuan dalam pasal 30 ayat 2.
Pasal IX
Hal-hal perlu untuk meyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam pasa-pasal
diatas datur ebih lanjut oleh Menteri Agraria. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan
konvensi ini diatur dalam Peraturan Menteri Agreria No. 2/1960 Tanggal 10
Oktober 1960 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan Undang-undang Pokok-pokok
Agreria.
BAB 4
HUKUM PERIKATAN DAN PERJANJIAN
1.
PERIHAL PERIKATAN DAN SUMBER-SUMBERNYA
Perkataan “
Perikatan” ( Verbintenis ) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan
“perjanjian”, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang
sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu
perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan
kpentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaak warneming).
adapun yang dimaksud dengan “perikatan” ialah
: suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang
memberi hak pada yang satu untuk menuntu barang sesuatu dari yang lainnya,
sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang
berhak menuntut dinamakan oihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak
yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan dinamakan pihak “debitur”. Adapun barang
sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”, yang menuntut undang-undang
dapat berupa :
1. menyerahkan suatu barang
2. melakukan suatu perbuatan
3. tidak melakukan suatu perbuatan
mengenai sumber-sumber perikatan, oleh
undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu
persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari
undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari
undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan
orang.Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perkatan yang lahir
dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang
berlawanan dengan hukum.
Dalam Kepmen Negara Agraria No. 6 Tahun 1998,
termasuk kedalam perikatan dimana seseorang diikat dan diberi hak atas tanah
atau bangunan yang ia miliki secara paten.
2.
MACAM-MACAM PERIKATAN
A.
PERIKATAN
BERSYARAT (VOORWAARDELIJIK)
Perikatan bersyarat adalah suatu
perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih
belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan,
bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu itu
timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan adanya suatu
perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende
voorwaarde).
B.
PERIKATAN YANG
DIGANTUNGKAN PADA SUATU KETETAPAN WAKTU (TIJDSBEPALING).
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang
pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan
terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang,
meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya
seseorang. Contoh-contoh suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan
waktu, banyak sekali dalam praktek, seperti perjanjian perburuhan, suatu hutang
wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya dipertunjukkan dan lain
sebagainya.
C.
PERIKATAN YANG
MEMBOLEHKAN MEMILIH (ALTERNATIEF)
Ini
adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi,
sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya,
ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu
juta rupiah .
D.
PERIKATAN
TANGGUNG-MENANGGUNG (HOOFDELIJK ATAU SOLIDAIR)
Suatu
perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang
berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya.Beberapa orang
sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang.Tetapi perikatan semacam
yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.
E.
PERIKATAN YANG
DAPAT DIBAGI DAN YANG TIDAK DAPAT DIBAGI
Suatu perikatan
dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi.Pada
hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang
membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atua tidaknya dibagi suatu
perikatan, barulah tampil kemuka, jika salah satu pihak dalam perjanjian telah
digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya
satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian
ahli waris.
3.
SYARAT-SYARAT UNTUK SAHNYA PERJANJIAN
Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1.
sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya
2.
kecakapan untuk
membuat suatu perjanjian
3.
suat hal tertentu
4.
suatu sebab yang
halal
Menurut saya, Kepmen Negara Agraria No. 6
Tahun 1998 sudah memenuhi syarat-syarat perjanjian seperti yang ditulis diatas.
4.
PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN
Dalam syarat-syat untuk sahnya suatu
perjanjian telah diterangkan bawa, apabila suatu syarat obyektif tidak
terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void).Dalam hal
yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan
tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat
perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat
mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak
yang lain di muka hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan,
karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau
perikatan.
5.
SAAT DAN LAHIRNYA PERJANJIAN
Menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian
dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belaj
pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian.
Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak
tersebut.Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki
oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik.
Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah
telah dilahirkan suatu perjanjian dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan,
harus dipastikan apakah telah tercapai sepakat tersebut dan bilamana
tercapainya sekapat itu.
Menurut saya, perjanjian lahir saat dua atau
lebih orang menyetujui suatu hal. Dan kepmen Negara Agraria No. 6 Tahun 1998
memberikan perjanjian kepada pemilik tanah atau bangunan dengan memberikan hak
paten atas tanah tersebut.
6.
PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di
mana seorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik macam-macamnya hal yang dijanjikan
untuk dilaksanakan itu, perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga macam, yaitu :
1. Perjanjian untuk memberikan menyerahkan
suatu barang
2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
Hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan
"prestasi".
Menurut saya, Kepmen Negara Agraria No. 6
Tahun 1998 juga memiliki suatu perjanjian dimana pihak BPN akan memberikan hak
atas tanah terhadap seseorang yang memiliki tanah dan mendaftarkan secara resmi
tanah tersebut ke negara.
7.
WANPRESTASI
Perkataan “wanprestasi” berasal dari bahasa
belanda, yang berarti prestasi yang buruk.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat
macam :
a. Tidak
melalukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b. Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c. Melakukan
apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d. Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak
bagi debitur yang lalai tadi ada empat macam, yaitu :
Pertama :
membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan
ganti-rugi.
Kedua :
pembatalan perjanjian atau juga dinamakan “pemecahan” perjanjian.
Ketiga :
peralihan risiko.
Keempat :
membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan dimuka hakim.
8.
CARA-CARA HAPUSNYA SUATU PERIKATAN
Pasal 1381 kitab undang-undang hokum perdata
menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut :
1. Pembayaran
2. Penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penyimpang penitipan
3. Pembaharuan
hutang
4. Perjumpaan
hutang atau kompensasi
5. Percampuran
hutang
6. Pembebasan
hutang
7. Musnahnya
barang yang terhubung
8. Kebatalan/pembatalan
9. Berlakunya
suatu syarat batal dan
10. Lewatnya
waktu
Menurut saya, dalam Kepmen Negara Agraria No.
6 Tahun 1998 cara menghapus perikatannya dengan cara Musnahnya barang yang
terhubung karena di beli oleh seseorang. Apabila seseorang mempunyai tanah atau
bangunan yang ia ingin menghapusnya maka dapat dengan cara dijual kepada orang
lain. Maka, dapat terlepas dari perikatan atas tanah atau bangunan tersebut.
Kesimpulan
Keputusan Menteri Negara Agraria no. 6 Tahun
1998 merupakan keputusan menteri tentang pemberian hak atas tanah kepada
perseorangan yang memiliki tanah. Untuk mendapatkan hak tersebut, kita harus
membayar sesuai dengan syarat yang berlaku di BPN atau Badan Pertahanan
Nasional. Kepmen tersebut juga berkaitan dengan bab-bab yang sudah saya
jelaskan diatas. Kepmen tersebut merupakan Hukum Perdata karena mengatur
seseorang untuk mendaftarkan tanah yang seseorang tersebut miliki secara resmi
agar tidak menimbulkan masalah di masa depan. Lalu, kepmen tersebut termasuk
kedalam hak eigendom karena mengatur tentang hak tanah. Dan kepmen tersebut
termasuk ke dalam hukum perikatan dan perjanjian karena mengikat seseorang atas
tanah dan bangunan yang ia miliki.
Referensi
http://www.bpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Keputusan-Menteri-Negara/keputusan-menteri-negara-agraria-nomor-6-tahun-1998-1321
http://www.kompasiana.com/syaifudinzuhri/sejarah-hukum-perdata-di-indonesia_54f95224a33311ac048b4cda
Katuuk, Neltje F. Aspek Hukum Dalam Bisnis . Seri Diktat
Kuliah Universitas Gunadarma: Depok.
Komentar
Posting Komentar